Budaya positif Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9 Kab. Padang Lawas
Budaya positif adalah sebuah nilai kebajikan yang menjadi keyakinan dan pada akhirnya menjadi karakter atau ciri khas dari sebuah komunitas atau lembaga. Untuk menciptakan budaya yang positif di sekolah, guru hendaklah mampu menjalankan perannya dalam menciptakan pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan di sekolah, karena budaya positif dapat mendorong murid untuk mampu berfikir dan bertindak serta mencipta, sebagai proses memerdekakan dirinya sehingga murid lebih mandiri dan bertanggung jawab. Ada beberapa konsep yang harus diketahui untuk bisa membentuk budaya positif.
Referensi : https://magis.sman1pmk.sch.id/update/budaya-positif/
1.
Disiplin
Positif
Disiplin positif adalah pendekatan mendidik murid untuk
melakukan kontrol diri dan mencapai kepercayaan diri, sehingga mampu
menciptakan murid yang merdeka dalam pembelajaran. Dalam rangka menciptakan
lingkungan positif, salah satu strategi yang perlu kita tinjau kembali adalah
penerapan disiplin di sekolah kita. Apa sesungguhnya arti dari disiplin itu
sendiri? Apa kaitannya dengan nilai-nilai kebajikan?
Sebelumnya, mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana
kita berperilaku? Mengapa kita melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan
sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan yang
lain? Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit
atau ketidaknyamanan, terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan
apa yang kita mau. Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat senyuman
atau pujian dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan
uang? Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu?
Sekarang mari kita membahas tentang konsep disiplin positif yang
merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-citakan
di sekolah kita. Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak
Anda? Apa yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan
kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan.
Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh
berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi
hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu
yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita
cendrung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “dimana
ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin
itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan
sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap
melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan
peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka (Ki Hajar
Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan
Kelima, 2013, Halaman 470). Di situ Ki Hajar menyatakan bahwa untuk
mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk
menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang
kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi
internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan
pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal
dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah mardika
iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri
priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi
juga cakap buat memerintah diri sendiri). Pemikiran Ki Hajar ini
sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring
School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin
berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata
‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau
murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham
betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu,
sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan
ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini
juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato.
Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah
tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin
diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita
hargai.
- Motivasi
Perilaku Manusia
Motivasi perilaku manusia adalah alasan yang mendasari sikap dan
perilaku manusia, Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School
Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:
1.
Untuk
menghindari ketidaknyamanan atau hukuman.
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia.
Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau
ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak
melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin
muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak
terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.
Motivasi ini bersifat eksternal.
- Untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang
berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang
dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari
orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia
berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah,
pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
- Untuk
menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan
nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang
seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai
yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin
menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini
adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena
motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
- Hukuman,
Konsekuensi dan Restitusi
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah,
bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita
perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah
kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk
1.
Hukuman
Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid
tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu
arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman
tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum
atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis,
murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
- Konsekuensi
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana
atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya
bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah
mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada
konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat
diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu
yang diberikan, atau murid melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran,
misalnya mengobrol, maka murid tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan
harus menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi
yang mengikuti ini sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini
senantiasa memonitor murid.
- Restitusi
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk
memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok
mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga
merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk
masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang
mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996).
D. Kebutuhan Dasar Manusia
Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya
dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan
cara yang positif, mereka bisa melanggar peraturan atau melakukan hal-hal yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan. Glasser menyatakan bahwa kapasitas
untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi
kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif
dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan
cara yang positif
1.
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis
untuk bertahan hidup misalnya makanan, pakaian, istirahat, tempat berlindung,
keamanan, dan kesehatan. Secara sederhana itu dapat dipenuhi dengan makan,
tidur, olahraga, memberikan perlindungan.
2.
Kasih
sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima) Kebutuhan ini termasuk
kebutuhan psikologis seperti: rasa diterima, dipedulikan, berbagi, bekerja
sama, menjadi bagian dari suatu kelompok, dikasihi-mengasihi,
disayangi-menyayangi. Kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan
untuk terhubung dengan orang lain, teman, keluarga, pasangan, rekan kerja,
kelompok, dan bahkan dengan binatang peliharaan. Kebutuhan ini biasanya dapat
dipenuhi melalui ketulusan dan kehangatan hubungan dengan keluarga, temanteman,
kelompok, klub, guru, konselor, coach.
3.
Kekuasaan
dan Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan) Kebutuhan ini berhubungan
dengan kekuatan seseorang untuk untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten,
menjadi terampil, memimpin, berprestasi, diakui, dan didengar. Kebutuhan ini
meliputi harga diri, keinginan untuk dianggap, dan meninggalkan pengaruh.
Kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui kegiatan-kegiatan seperti: proyek, hobi,
tugas sekolah yang menantang-kontekstual-relevan, belajar menjadi orang yang
kuat, membuat pilihan positif, dan bekerja.
4.
Kebebasan
(Kebutuhan Akan Pilihan) Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan untuk mandiri,
otonom, memiliki pilihan, mengembangkan daya lenturnya, dan mampu mengendalikan
arahnya sendiri. Kebutuhan ini terkait dengan kebebasan untuk memilih dan
membuat pilihan, kebutuhan bergerak, mencoba-coba, mengeksplorasi hal baru dan
menarik. Pemenuhan kebutuhan ini dapat dilakukan dengan menyediakan variasi,
waktu senggang, memberikan ruang untuk jadi diri sendiri yang merdeka, serta
liburan.
5.
Kesenangan
(Kebutuhan untuk merasa senang) Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan
untuk mencari kesenangan, humor, bermain, bersenang-senang, bergembira,
antusiasme, dan tertawa. Glasser menghubungkan kebutuhan ini dengan belajar.
Menurutnya, dengan bermain kita sekaligus mempelajari banyak keterampilan hidup
yang penting. Biasanya kebutuhan ini juga dapat dipenuhi dengan menyediakan
tantangan, gurauan, dan pembelajaran yang bermakna.
E. Restitusi-Lima Posisi Kontrol
Berikut ini akan disampaikan suatu program disiplin positif
yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan
pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol. Diane Gossen dalam
bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan
bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas
mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan
memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan
pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi
kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan
kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal.
Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa
sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih
dalam lagi. Seorang Penghukum menggunakan Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata
melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik.
Hasil Dari Kontrol Penghukum memungkinkan murid marah dan
mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid
tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi,
sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku.
- Pembuat
Rasa Bersalah
Seorang pembuat rasa bersalah akan bicara dengan nada tenang,
cendrung lemah lembut namun kata-kata yang diutarakan cendrung membuat murid
menjadi orang yang gagal, memandang buruk dirinya sendiri, merasa tidak
berharga, dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Ketika guru memposisikan
dirinya sebagai pembuat rasa bersalah maka murid menganngap dirinya yang
bersalah dan Ia akan menyimpan emosi tersebut di dalam dirinya
- Teman
Dalam posisi teman, guru akan berbicara dengan nada ramah,
akrab, cendrung bersanda gurau untuk menjaga agar suasana tetap santai . Murid
akan merasa tenang, aman dan akrab dengan guru. Identitas yang tercipta adalah
identitas sukses dan berhasil, namun karena ini adalah dorongan eksternal maka
ada faktor ketergantungan dari murid pada orang tertentu, sehingga bisa jadi di
lain kesempatan murid hanya berlaku baik pada orang-orang tertentu saja. Murid
juga tidak bisa mandiri dan tidak bisa berpikir untuk diri sendiri
- Pemantau
Posisi pemantau mengandalkan data atau penghitungan untuk
mengontrol murid. Guru mengarahkan murid berdasarkan peraturan dan kosekwuensi.
Seorang Pemantau akan bersuara datar, tidak emosional, tidak bersanda gurau
ataupun menggunakan suara tinggi. Posisi pemantau akan menciptakan identitas
diri positif atau berhasil, namun guru harus selalu memantau akan sanksi yang
sudah diberikan. Damp aknya Murid akan senantiasa menghitung, konsekwensi dan
hadiah tanpa memahami sepenuhnya nilai kebajikan yang dituju, hal ini juga
membuat murid yang tidak sepenuhnya mandiri
- Manager
Posisi manager adalah posisi kontrol yang disarankan untuk
membimbing murid memiliki sikap disiplin yang positif, yaitu murid yang
mandiri, bertanggung jawab dan dapat memecahkan masalah. Tujuan dari posisi ini
adalah agar murid bisa merefleksi atas tindakannya, Guru dengan tulus akan
memberikan pertanyan-pertanyaan yang bermakna sehingga murid dapat belajar dari
kesalahannya dan mencari solusi untuk menyelesaikannya. Suara pada control
manager ini netral, tidak emosional, tidak terlalu ramah, dan tidak bernada
tinggi, akan tercipta identitas berhasil/positif.
- Tiga
Sisi Segitiga Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya Restitution;
Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan
untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan
anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution
triangle.
1.
Mestabilkan
Identitas
Pada tahap ini, guru akan menyampaikan bahwa membuat kesalahan
adalah bagian dari prose pembelajaran, hal ini bermaksud untuk menggeser
identitas murid dari identitas gagal ke identitas sukses, oleh sebab itu guru
harus menghindari mengkritik murid yang berada pada fase ini. Guru bisa
menyampaikan kalimat seperti: membuat kesalahan adalah sesuatu yang wajar,
manusia tidak ada yang sempurna,kita bisa memperbaiki masalah ini, saya tidak
terlalu peduli pada kesalahanmu karena lebih focus mencari pemecahan masalahmu,
Apakah saat ini kamu tengah menjadi orang baik untuk dirimu sendiri?
- Validasi
Tindakan yang salah
Pada tahap ini guru harus memahami bahwa prinsip setiap perilaku
karena ingin berupaya memenuhi suatu kebutuhan tertentu sehingga guru akan
menggeser pemikiran stimulus-respon menjadi proaktif. Guru juga akan
menyampaikan pertanyaan dengan nada suara tidak menghakimi atau memojokkan.
Berikut beberapa pernyataan yang bisa disampaikan guru: Kamu bisa saja
bertindak lebih gegabah dari itu, Kamu pasti melakukan karena ada alasan
tertentu, kamu melakukannya karena mempertahankan sesuatu yang penting bagimu,
mungkin kamu bisa mempelajari perilaku yang lebih efektif, bersediakah kamu
mempelajarinya?
- Menanyakan
Keyakinan
Pada tahap terakhir ini akan tampak bahwa murid akan termotivasi
secara intrinsik, saat perilaku telah divalidasi dan identitas sukses telah
stabil, maka murid telah siap mengaitkan keyakinannya dengan tindakannya yang
salah. Berikut adalah pertanyaan yang bisa kita ajukan: Sebagai keluarga
kelas/sekolah, apa yang kita Yakini?, Nilai-nilai apa saja yang sudah kita
sepakati?, Seperti apa gambaran kelas yang ideal menurut kamu?, Kamu ingin
menjadi orang seperti apa?
Namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan agar segitiga
Restitusi ini bisa berjalan dengan baik, Yaitu;
1.
Perilaku
yang salah harus dikaitkan dengan nilai-nilai yang telah diyakini Bersama
2.
Kesediaan
orang yang bersalah untuk memperbaiki kesalahannya dan berubah menjadi lebih
baik
3.
Pemecahan
masalah harus relevan dengan masalah yang ada
4.
Perlu
adanya usaha perbaikan dari pihak yang bersalah
5.
Perlu
didedikasikan waktu dari pihak yang bersalah, kapan akan mulai melakukan
perbaikan akan kesalahannya.
Referensi : https://magis.sman1pmk.sch.id/update/budaya-positif/
Segitiga Restitusi tidak perlu dijalankan secara berurutan, jika
memang kesalahannya ringan, guru langsung saja melakukan tahapan menanyakan
keyakinan. Dengan menerapkan segitiga restitusi, dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan bermakana diharapkan murid menjadi lebih kuat secara
pribadi, membuka wawasan murid agar dapat menyelesaikan permasalahannya
sendiri, sehingga murid menjadi semakin percaya diri, mandiri dan merdeka.
Komentar
Posting Komentar